PRAKTEK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS
TANAH BERDASARKAN AKTA NOTARIS DI JAKARTA TIMUR
Pengarang : Fitri Susanti
Instansi : UNIVERSITAS DIPONEGORO Semarang
Tahun : 2008
Sumber : http://eprints.undip.ac.id/17438/
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Kekuatan Hukum Dari Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pelaksanaan
Pembuatan Akta Jual Belinya Dan Kuasa Mutlak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Serta Status Hukumnya.
Walaupun dalam prakteknya Perjanjian Pengikatan Jual
Beli sudah sering digunakan namun ternyata terhadap Perjanjian Pengikatan Jual
Beli hanya dipakai asas umum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata atau dengan kata lain belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hak atas tanah.
1.
Kekuatan Hukum Dari Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang
Dibuat Oleh Notaris Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Belinya
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa
Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah terobosan hukum yang dipakai oleh
para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah. Pengikatan Jual Beli
(PJB) dipakai untuk memudahkan para pihak yang akan melakukan jual-beli hak
atas tanah, karena jika mengikuti semua aturan yang ditetapkan dalam melakukan
jual-beli hak atas tanah, tidak semua pihak dapat memenuhinya dalam sekali
waktu, seperti membayar harga jual beli yang disepakati. Dalam Peraturan
tentang hak atas tanah, diantaranya adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 dan lain-lain, diatur setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak
atas tanah. Setiap orang yang akan melakukan perbutan hukum yang berikaitan
dengan hak atas tanah wajib tunduk kepada semua peraturan yang berkaitan dengan
hak atas tanah.
Contohnya dalam hal jual-beli hak atas tanah, di
mana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat
Akta Tanah (PPAT), diatur bahwa dalam melakukan jual-beli hak atas tanah harus
dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah
yang diperjualbelikan itu berada. Selain itu akta pemindahan haknya (akta jual
belinya) juga dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan akta jual-beli
tersebut merupakan akta otentik, dimana bentuk dan isinya telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelum dapat melakukan jual-beli dihadapan pejabat
yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), para
pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah harus memenuhi semua
persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual-beli tanah. Persyaratan tentang
objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan
merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan
adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan
tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan
sebagainya.
Disamping itu jual-beli telah dibayar secara lunas
dan semua pajak yang berkaitan dengan jual-beli seperti pajak penjual (SSP) dan
pajak pembeli yaitu (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan/BPHTB) juga
telah dilunasi oleh pihak yang akan melakukan jual-beli. Setelah semua hal
tersebut dilengkapi atau terpenuhi, barulah para pihak yang akan melakukan
jual-beli tanah dapat melakukan jual-beli hak atas tanah dan pembuatan akta
jual-beli tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta selanjutnya melakukan
pendaftaran tanah untuk pemindahan haknya.
Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum
dipenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas
tanah belum bisa dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan juga akan menolak untuk membuatkan
akta jual belinya sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang
pembuatan akta jual beli (AJB), yang dengan sendirinya jualbeli hak atas tanah
belum bisa dilakukan.
Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan
atau bahkan bisa merugikan terhadap para pihak yang melakukan jual beli hak
atas tanah. Karena dengan keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda
dulu penjualan tanahnya, agar semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang
dengan sendirinya juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari
penjualan hak atas tanahnya tersebut. Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak
pembeli, dengan keadaan tersebut pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk
mendapatkan hak atas tanah yang akan dibelinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran
tertib administrasi pertanahan maka dibuatlah Akta Pengikatan Jual Beli (PJB), dimana
isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas
pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan atau dapat
dikatakan sebagai perjanjian penduhuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual
beli sebenarnya diatur dalam perundang-undangan yang dinamakan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli.
Berdasarkan semua keterangan yang telah penulis
kemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum dari akta
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris dalam pelaksanaan
pembuatan Akta Jual Belinya adalah sangat kuat. Hal ini karena pada Pengikatan
Jual Beli (PJB) yang dibuat dihadapan notaris maka aktanya telah menjadi akta
notaril sehinga merupakan akta otentik, sedangkan untuk yang dibuat tidak
dihadapan notaris maka menjadi akta dibawah tangan yang pembuktiannya berada
dibawah akta otentik, walaupun dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memang disebutkan bahwa akta dibawah tangan dapat mempunyai pembuktian
yang sempurna seperti akta otentik apabila tanda tangan dalam akta tersebut
diakui oleh para pihak yang menanda tanganinya.
Namun ketentuan dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menunjuk kembali Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa akta dibawah tangan dapatlah menjadi seperti akta otentik
namun tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat
didadalamnya, karena akan dianggap sebagai penuturan
belaka
selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi
akta.
Jadi kekuatan hukum yang ada di perjanjian
pengikatan jual-beli hanyalah tergantung dimana perjanjian pengikatan jual-beli
dibuat, jika bukan dihadapan pejabat umum (notaris) maka menjadi akta dibawah tangan
sedangkan jika dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum maka akta tersebut
menjadi akta notariil yang bersifat akta otentik.
2.
Kuasa Mutlak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Serta Status Hukumnya
Oleh karena perjanjian pengikatan jual-beli
merupakan sebuah perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian
pengikatan jual-beli tersebut akan termuat janji-janji dari para pihak yang mengandung
ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang apabila semua ketentuan tersebut
atau syarat-syarat tersebut telah dipenuhi maka jual-beli hak atas tanah yang
disepakati dalam perjanjian pengikatan jual-beli dapat dilakukan.
Akan tetapi ada kemungkinan dalam pemenuhan semua persyaratan
dan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian pengikatan jual-beli bisa saja
terjadi dalam waktu yang agak lama, sehingga ada kemungkinan juga untuk bakal
penjualnya berhalangan untuk datang
kembali
untuk melakukan penandatanganan terhadap akta jual belinya (AJB).
Hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan bagi
pihak pembeli karena ketika semua persyaratan dan ketentuan yang disepakati
dalam perjanjian pengikatan jual-beli telah dipenuhi pihak penjual berhalangan untuk
melakukan penandatanganan terhadap akta jual belinya, sehingga pemindahan hak
tidak bisa dilakukan padahal pihak pembeli telah memenuhi semua kewajiban untuk
memperoleh haknya sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian pengikatan
jual-beli.
Untuk menghindari hal tersebut biasanya pihak
pembeli dalam perjanjian pengikatan jual-beli akan meminta dibuatkan sebuah
surat kuasa dari bakal penjual yang didalamnya termuat ketetuan apabila pihak
penjual berhalangan hadir sedangkan semua syarat dan ketentuan yang disepakati dalam
perjanjian pengikatan jual-beli telah terpenuhi, sehingga telah bisa dilakukan
penandatanganan terhadap akta jual beli, maka penjual biasanya akan memberikan
kuasa kepada pembeli untuk menghadap sendiri dan menandatangani akta jual beli
atas nama penjual di hadapan Notaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar